Friday, November 25, 2011

HAKIKAT ZUHUD


Suatu ketika di pinggir kota Basrah Irak, tersiar kabar ada orang yang meninggal dunia. Dia orang tidak terkenal, tidak berpangkat, kekayaannya tidak seberapa dan secara umum semuanya tampak biasa saja. Yang tidak biasa barangkali karena dia suka mabuk-mabukan. Kebiasaan buruknya ini konon membuat orang-orang kampung begitu membenci perilakunya yang diharamkan agama ini.

Tersiarnya kabar tewasnya sang pemabuk ini disambut dengan suka cita banyak orang. Yang sedih mungkin cuma isteri, anak-anak dan mungkin anjing kesayangannya. Para tetangga dan masyarakat sekitar tempat tinggal bahkan enggan mengurus si mayat karena diyakini dosanya terlalu banyak semasa hidup.

Sambil berlinang air mata, si isteri mengurus jenazah suaminya seorang diri diaksikan anak-anak. Sayang tubuh si isteri ini tidak kuat mengangkat jenazah seorang diri sehingga dia kemudian mengupah orang lain untuk mengangkat dan memidahkan jenazah ke masjid untuk disholatkan.

Sayang, umat muslim tidak mau melakukan sholat jenazah. Para ustadz dan santri di sekitar masjid yang biasanya mengaji pun tidak tampak batang hidung mereka. Akhirnya, dibawalah jenazah ke pekuburan di padang pasir untuk disemayamkan.

Singkatnya, orang yang dibayar untuk menggotong jenazah sang pemabuk ini pun hampir sampai di pekuburan. Saat melewati sebuah rumah yang berasal dari tanah yang reyot di atas bukit kecil, tiba-tiba terdengar teriakan lantang. “Berhentilah, saya akan mensholatkannya…” Para penggotong jenazah pun berhenti dan keluarlah seorang tua renta. Orang tua ini dikenal masyarakat sebagai orang yang zuhud (orang yang sudah meninggalkan urusan dunia untuk selalu menomorsatukan urusan akhirat red.)

Orang-orang kota yang sejak tadi menyaksikan dari jauh kaget penggotongan jenazah heran dengan teriakan si zuhud nyeleneh ini. Masyarakat bertanya pada si zuhud, apa yang mendorongnya untuk bersedia mensholatkan jenazah si pemabuk?

“Saya bermimpi bertemu seseorang. Orang ini berkata, turunlah dari bukit dan engkau akan menemukan jenazah seorang laki-laki yang sedang ditunggui isterinya. Sholatkan dia karena dosa-dosanya sudah diampuni” kata si zuhud.

Orang-orang yang selama ini menganggap si zuhud adalah tokoh yang patut diteladani dalam hal kedalaman ilmu tasawuf, kagum dengan penjelasannya. Mereka kemudian bersama-sama mensholatkan jenazah si pemabuk dan memakamkannya dengan baik sebagaimana saudara-saudara sesama muslim lain yang meninggal dunia.

Orang-orang penasaran namun saat akan bertanya mereka sungkan karena takut menyinggung perasaan si isteri. Hanya si zuhud yang berani bertanya pada si isteri, “apakah yang menyebabkan dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT padahal dia suka mabuk-mabukan dan sering melakukan perbuatan yang melanggar syariat agama? “

Si isteri mengaku tidak tahu. Dia kemudian menjelaskan bahwa almarhum semasa hidup memang suka menghabiskan hari-hari di tempat maksiat dan menenggak minuman keras. “Pasti ada amalan kebaikan lain yang membuat dosa-dosanya diampuni Allah SWT. Coba Anda jelaskan apa amalan yang baik yang dilakukannya?” tanya si zuhud.

Isteri pemabuk mengatakan bahwa ada tiga hal yang selalu dilakukan suaminya saat hidup: “Pertama, jika ia sadar dari mabuknya saat subuh maka ia bersuci dan lekas mengganti pakaiannya dan kemudian sholat berjamaan. Kedua, rumah kami selalu dihuni anak yatim yang kami perlakukan sebagaimana anak kami sendiri. Dan ketiga, kalau sadar dari mabuk tengah malam maka ia selalu mengatakan dalam doanya… Tuhanku, di sudut neraka manakah Engkau tempatkan aku, manusia yang selalu berbuat keburukan ini..”

Setelah mendengar apa yang disampaikan isteri pemabuk ini, masyarakat pun tahu apa yang menyebabkan dosa-dosa si “drunken master” ini diampuni oleh Tuhan.

Kisah yang dipaparkan Imam Al Ghazali dalam buku “Mukasyafah al Qulub, al Muqarrib ila Hadrah Allam al Ghuyub fi Ilm at Tashawwuf” di atas mengingatkan kita akan bagaimana seharusnya menjalani laku hidup. Sebagai manusia kita tidak pernah lepas dari kesalahan dan dosa-dosa. Dosa kadang besar namun kadang dosa kecil. Namun dosa tetaplah dosa. Dosa kecil yang bertumpuk tetap akan menjadi dosa besar sehingga perlu diimbangi dengan upaya untuk selalu mensucikan diri dengan niat untuk bertobat.

Bagi saya yang menarik adalah doa sang pemabuk yaitu… “Tuhanku, di sudut neraka manakah Engkau tempatkan aku, manusia yang selalu berbuat keburukan ini?”

Ini adalah bentuk sikap rendah hati di hadapan Gusti Allah dan sebuah sikap anti kesombongan diri. Ego atau aku kita kita tiadakan tanpa bekas di hadapan-NYA. Kita tidak lagi memiliki “aku” lagi. Yang berhak untuk mengAKU memang hanya DIA, Gusti Allah Yang Maha Perkasa. Sementara kita? Rasa-rasanya menciptakan sebutir nyamuk saja tidak bisa kok mengaku hebat dan sakti…

Sikap rendah hati ini termasuk dalam sikap zuhud yang luar biasa. Zuhud harusnya menjadi laku perjalanan spiritual kita untuk selalu menomorsatukan Allah SWT di atas semua kepentingan yang lain. Allah SWT adalah satu-satunya titik pusat konsentrasi kesadaran jiwa dan ruhani kita. Tidak boleh ada titik konsentrasi kesadaran yang lain melebihi konsentrasi kita kepada Allah SWT.

Diriwayatkan oleh Adh Dhardak, suatu ketika seorang pria datang kepada Nabi Muhammad SAW, “Ya Rasulullah, bagaimanakan orang yang disebut paling zuhud itu?”

Rasulullah menjawab: “Orang yang tidak pernah lupa akan kubur dan bencananya, meninggalkan perhiasan dunia, mengutamakan kehidupan yang kekal (KEHIDUPAN BERSAMA ALLAH SWT red.) daripada kehidupan yang fana dan ia tidak melewati hari-harinya kecuali bersiap-siap menjadi penghuni kubur”

Thursday, November 24, 2011

Kisah Zuhud Abu Dzar Al-Ghifari



“Tidak ada lagi dipermukaan bumi ini orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar.” (Sabda Rasulullah saw)

Di lembah Waddan yang menghubungkan Makkah dengan dunia luar, tinggal kabilah Ghiffar. Mereka hidup sangat berkekurangan dan tergantung pada pemberian kafilah saudagar Quraisy yang pulang pergi ke Syam. Tidak jarang pula mereka merampok kafilah-kafilah yang lewat di situ, apabila permintaan mereka tidak dipenuhi.

Jundub bin Junadah alias Abu Dzar adalah pemuda Ghifar yang lain dari yang lain, baik segi keberaniannya, maupun kecerdasannya dan jangkauan pemikirannya. Dia pemberani, berpikiran cemerlang dan berpandangan jauh ke depan.

Dia menilai kaumnya sangat bodoh, karena mereka menyembah berhala, tidak menyembah Allah. Dan dia tidak mengindahkan agama orang Arab yang dinilainya sebagai agama sesat dan kepercayaan (iktikad) yang kosong. Dia berpendapat, kedatangan seorang Nabilah yang dapat menunjuki akal dan hati nurani manusia, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya yang terang.

Pada suatu hari, ketika Abu Dzar berada di kampungnya, dia mendengar berita tentang seorang Nabi yang baru muncul di Mekkah. Maka disuruhnya saudaranya, Anis, mencek kebenaran berita itu.

Kata Abu Dzar, “Pergilah engkau ke Makkah, selidiki sampai dimana kebenaran berita mengenai seorang yang mengatakan mendapat wahyu dari langit. Simak segala ucapannya dengan teliti, kemudian laporkan kepada saya.”

Anis pergi ke Makkah dan bertemu dengan Rasulullah SAW. Dia mendengarkan ucapan-ucapan beliau, kemudian kembali ke desanya menemui Abu Dzar yang menanti penuh harap. Abu Dzar langsung menanyakan berita tentang Nabi yang baru itu dengan penuh keinginan.

Kata Anis, ”Demi Allah! Aku telah melihat orang itu. Dia mengajak orang supaya berakhlak mulia, dan kata-katanya jelas, bukan sya’ir.”

Tanya Abu Dzar, “Bagaimana pendapat orang banyak mengenai pribadinya?”

Jawab Anis,”Mereka mengatakan dia tukang sihir, tukang tenung dan penya’ir.”

Kata Abu Dzar, ”Demi Allah! Laporanmu tidak memuaskanku karena tidak memenuhi apa yang saya inginkan. Maukah engkau menjaga keluargaku, biar aku pergi kesana meneliti kegiatannya?”

Jawab Anis, ”Boleh! Tetapi hati-hati engkau menjaga diri terhadap tindakan penduduk Makkah".

Abu Dzar menyiapkan perbekalan untuk dibawanya. Besok pagi dia berangkat ke Makkah hendak menemui Nabi dan mencari berita tentang pribadi beliau. Abu Dzar tiba di Makkah dengan menyamar sebagai musafir untuk menghindari tindakan penduduk Makkah. Dia pernah mendengar berita tentang kemarahan kaum Qurasiy karena Tuhan mereka disepelekan, mereka menyiksa setiap orang yang mengatakan menjadi pengikut Nabi Muhammad. Karena itu Abu Dzar enggan bertanya-tanya kepada siapapun juga tentang Nabi yang baru dibangkitkan itu. Sebab dia tidak tahu apakah orang yang akan ditanya itu pembela Muhammad atau musuhnya.

Setelah malam dia tidur di Masjid, kebetulan Ali bin Abi Thalib lewat di dekatnya. Ali tahu Abu Dzar seorang asing. Kata Ali, ”Marilah ikut kami, hai orang asing!”

Abu Dzar pergi bersama Ali dan bermalam dirumahnya, Pagi-pagi Abu Dzar kembali ke masjid membawa kantong perbekalannya, tanpa bertanya-bertanya dengan Ali terhadap urusan masing-masing.

Hari kedua dilalui Abu Dzar seperti hari pertama. Dia masih belum mengenal yang namanya Nabi yang dicarinya itu. Petang hari dia tidur di masjid dan Ali lewat pula didekatnya. Kata Ali, ”Apakah anda belum tahu tempat anda menginap?”

Ali mengajak Abu Dzar bermalam di rumahnya. Malam kedua itu mereka masih diam, masing-masing tidak bertanya satu sama lain.

Malam ketiga barulah Ali berkata kepada tamunya, ”Mudah-mudahan anda tidak keberatan mengabarkan kepada saya maksud kedatangan anda ke Makkah.”

Jawab Abu Dzar, ”Jika anda bersedia berjanji untuk membantuku, akan saya jelaskan kepada Anda tujuanku datang ke sini.” Ali menyatakan kesediannya dan berjanji akan membantunya.

Kata Abu Dzar, ”Saya datang kesini dari jauh, sengaja hendak bertemu dengan Nabi yang baru dibangkitkan dan ingin mendengar apa yang dikatakannya.”

Di wajah Ali terpancar tanda kegembiraan, katanya, “Demi Allah! Memang sesungguhnya dia Rasulullah!” Selanjutnya Ali menceritakan kepada Abu Dzar bukti-bukti kerasulan Muhammad dan dakwah yang dibawa beliau.

Kata Ali selanjutnya, ”Besok pagi kita pergi dengan sembunyi-sembunyi. Jika aku melihat sesuatu yang membahayakan anda, aku akan berhenti dan pura-pura menumpahkan air. Bila aku terus, ikutilah aku sampai ke sebuah tempat. Bila aku masuk, masuk pulalah anda!”

Abu Dzar tidak dapat memejamkan mata semalaman, karena sangat rindu hendak bertemu dengan Rasulullah dan mendengar wahyu yang diwahyukan kepadanya. Pagi-pagi Ali pergi dengan tamunya ke rumah Rasulullah yang mulia. Abu Dzar mengikuti Ali dari belakang tanpa menoleh kemana-mana.

Tiba di rumah Rasulullah Abu Dzar memberi Assalamu’alaikum, “Assalamu ‘alaika, ya Rasulullah!”

Jawab Rasulullah, “Wa’alaika salamullahi wa rahmatuhu wa barakatuh.”

Dalam sejarah Islam tercatat, Abu Dzar adalah orang yang pertama memberi Assalamu’alaikum kepada Rasulullah dengan Assalamu’alaikum penghormatan secara Islam, sesudah itu Assalamu’alaikum tersebar luas dan merata dikalangan umat Islam.

Rasulullah mengajak Abu Dzar masuk Islam, dan membacakan ayat-ayat Al Qur’an kepadanya. Abu Dzar mengucapkan kalimat syahadah di hadapan beliau. Dia masuk Islam sebelum agama yang baru itu dianutnya itu sampai ke negrinya. Dia orang keempat atau orang kelima yang masuk Islam.

Marilah kita dengarkan Abu Dzar mengisahkan cerita selanjutnya mengenai dirinya, katanya; “Aku tinggal di Makkah bersama Rasulullah, beliau mengajarkan Islam dan membacakan ayat-ayat Al-qur’an kepadaku.

Kemudian beliau menasehatiku, ”Jangan diceritakan kepada siapapun dari penduduk Makkah, bahwa engkau sudah masuk Islam, saya kuatir kalau-kalau mereka membunuhmu.”

Jawabku, “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya! Aku tidak akan meninggalkan Makkah sebelum aku datang ke masjid meneriakkan kalimah yang hak di tengah-tengah kaum Quraisy.” Rasulullah diam saja mendengar jawabanku.

Kemudian aku datang ke masjid ketika orang-orang Quraisy duduk bercakap-cakap. Aku datang ke tengah-tengah mereka, lalu aku berseru dengan suara keras, “Hai, kaum Quraisy! Aku mengaku sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah.” Kalimat-kalimatku menyentuh telinga mereka, mereka terkejut dan melompat dari duduknya.

Kata mereka, “tangkap! Dia meninggalkan agama nenek moyangnya!”

Aku dikeroyok hendak dibunuh mereka. Untunglah Abbas bin Abdul Mutthalib, paman Nabi datang melindungiku. Kata Abbas, “celaka kalian! Mengapa kalian hendak membunuh orang Ghifar. Padahal Ghifar tempat kafilah kalian lewat.”

Mereka berhenti mengeroyokku, sesudah itu aku pergi menemui Rasulullah, setelah beliau melihatku babak belur, beliau berkata, “bukankah aku sudah melarangmu mengatakan kepada mereka bahwa kamu telah Islam?”

Jawabku, “Aku penasaran sebelum tekadku kulaksanakan.”

Kata Rasulullah, “Sekarang sebaiknya engkau pulang kepada kaummu. Beritakanlah kepada mereka apa yang engkau lihat dan apa yang engkau dengar. Ajaklah kaummu kepada agama Allah. Semoga ajakanmu bermanfaat bagi mereka, dan engkau mendapat pahala karena mengajak mereka. Bila engkau mendengar berita bahwa aku telah berdakwah secara terang-terangan atau terbuka, datanglah kembali kepadaku.”

Aku pulang ke kampungku. Sampai di kampung, saudara-saudaraku bertanya, “Apa yang telah kau lakukan?”

Jawabku, “Aku sudah Islam dan mengakui kebenaran agama itu.”

Tidak berapa lama kemudian Allah melapangkan dada Anis, Dia berkata kepadaku, “Tidak ada alasan bagiku membenci agamamu. Karena itu aku masuk Islam dan mengakui pula kebenarannya.”

Kemudian kami datangi ibu kami, lalu kami ajak ibu masuk Islam. Kata ibu, “Saya sungguh tertarik kepada agama kalian.“ Lalu ibu masuk Islam pula. Maka sejak hari itu keluarga mu’min itu berdakwah di kampung Ghifar tanpa merasa lelah dan jemu. Banyak penduduk Ghifar masuk Islam. Rasulullah berkata mengenai mereka, “Semoga Allah mengampuni penduduk Ghifar dan menyelamatkan penduduk Islam.”

Rasulullah sangat terkesan kepada Abu Dzar dan memuliakannya, setiap beliau bertemu dengan Abu Dzar, beliau berjabat tangan dengannya dan wajah beliau terlukis seulas senyum tanda gembira.

Sejak Rasulullah berpulang ke rahmatullah, Abu Dzar tidak betah tinggal di Madinah. Kota itu terasa kosong baginya ditinggal Rasulullah. Dia pergi ke negeri Syam dan menetap tinggal di sana selama pemerintahan Abu Bakar Shiddiq dan Umar r.a

Zaman pemerintahan Utsman, Abu Dzar tinggal di Damascus. Dia melihat kaum muslimin sudah bermewah-mewah dengan kehidupan dunia. Abu Dzar bergerak membasmi gejala buruk yang membahayakan kaum muslimin itu. Karena itu khalifah Utsman memanggilnya ke Madinah.

Beliau begitu lama tinggal di Madinah mengingatkan masyarakat/ para pembesar supaya kembali kepada hidup sederhana seperti dicontohkan Rasulullah, Khalifah Utsman memerintahkannya pindah ke Rabzah, sebuah kampung kecil dekat kota Madinah. Abu Dzar tinggal di kampung itu terjauh dari masyarakat ramai. Dia menjauhkan diri dari kecenderungan hidup mewah dengan harta dunia, dan mempertahankan hidup sederhana seperti dicontohkan Rasulullah dan dua orang sahabat beliau, Abu Bakar dan Umar. Dia lebih mengutamakan kehidupan akherat daripada kehidupan dunia.

Pada suatu hari seorang laki-laki datang ke rumah Abu Dzar. Orang itu melayangkan pandangannya ke setiap pojok rumah Abu Dzar. Dia tidak melihat apa-apa dalam rumah itu. Karena itu orang tersebut bertanya kepada Abu Dzar, “Hai Abu Dzar! Dimana barang-barangmu?” Jawab Abu Dzar, “Kami mempunyai rumah yang lain (di akherat). Barang-barang kami yang bagus telah kami kirimkan kesana.”

Orang tersebut rupanya mengerti maksud Abu Dzar. Lalu dia berkata pula, ”Tetapi bukankah kamu memerlukan juga barang-barang itu di rumah ini (di dunia)?” Jawab Abu Dzar, ”Tetapi yang punya rumah (Allah) tidak membolehkan kami tinggal disini selama-lamanya.

Pada suatu ketika, Wali Kota Syam mengirimnya uang 300 dinar. Katanya, “Manfaatkanlah uang ini untuk memenuhi kebutuhan Anda!”

Abu Dzar mengembalikan uang itu seraya berkata, “Apakah Wali Kota tidak melihat lagi seorang hamba Allah yang lebih memerlukan bantuannya selain saya?”

Tahun ke 32 Hijriah Allah Yang Maha Pemberi berkenan memanggil hamba-Nya yang zuhud ini, dan yang telah mendapat pujian dari Rasulullah dengan sabdanya, ”Tidak akan diperoleh di dunia ini orang yang lebih konsekuen dari Abu Dzar.”


sumber : www.raudhah.com & www.kebunhikmah.com

Wednesday, November 23, 2011

Kasih Sayang Nabi Muhammad SAW Kepada Anak-Anak

Anak adalah titipan dari Allah Subhanahu wa ta’alaa sekaligus karunia yang tak ternilai bagi kebahagiaan sebuah keluarga. Anak merupakan generasi penerus di hari esok kelak yang diharapkan bisa menjadi seorang yang berguna bagi keluarga dan masyarakat.

Masa depan anak merupakan tanggung jawab orangtuanya yang mendidik dan membesarkan sang buah hati. Dalam mendidik anak, sedapat mungkin orangtua tak hanya memberikan pendidikan di rumah, namun juga pendidikan formal yang tinggi. Dan selama mendidik itulah kasih sayang sangat penting peranannya dalam membesarkan anak.

Penting pula bagi umat muslim untuk mendidik anak-anaknya sesuai dengan yang dicontohkan teladan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkenal sangat menyayangi anak-anak. Beliau sungguh memiliki kasih sayang yang tak terkira bagi anak-anaknya. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membawa putra beliau bernama Ibrahim, kemudian mengecup dan menciumnya.” (HR. Bukhari)

Kasih sayang Nabi Muhammad saw tidak terbatas pada anak-anaknya saja, namun jga kepada seluruh anak-anak kaum muslimin. Asma’ binti ‘Umais Radhuyallahu ‘anhu (istri Ja’far bin Abi Thalib) pernah berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menjengukku, beliau memanggil putra-putri Ja’far. Aku melihat beliau mencium mereka hingga menetes air mata beliau. Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah telah sampai kepadamu berita tentang Ja’far?” beliau menjawab: “Sudah, dia telah gugur pada hari ini!” Mendengar berita itu kamipun menangis. Kemudian beliau pergi sambil berkata: “Buatkanlah makanan bagi keluarga Ja’far, karena telah datang berita musibah yang memberatkan mereka.” (HR. Ibnu Sa’ad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Ketika air mata Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetes menangisi gugurnya para syuhada tersebut, Sa’ad bin ‘Ubadah Radhiyallahu ‘anhu bertanya: “Wahai Rasulullah, Anda menangis?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ini adalah rasa kasih sayang yang Allah Ta’ala letakkan di hati hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya hamba-hamba yang dikasihi Allah Ta’ala hanyalah hamba yang memiliki rasa kasih sayang.” (HR. Bukhari)

Ketika air mata Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetes disebabkan kematian putra beliau bernama Ibrahim, Abdurrahman bin ‘Auf Radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada beliau: “Apakah Anda juga menangis wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Wahai Ibnu ‘Auf, ini adalah ungkapan kasih sayang yang diiringi dengan tetesan air mata. Sesungguhnya air mata ini menetes, hati ini bersedih, namun kami tidak mengucapkan kecuali yang diridhai Allah Ta’ala. Sungguh, kami sangat berduka cita berpisah denganmu wahai Ibrahim.” (HR. Bukhari)
Kasih sayang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terlihat dari sikapnya pada setiap anak-anak yang ditemuinya. Setiap kali Anas bin Malik melewati sekumpulan anak-anak, ia pasti mengucapkan salam kepada mereka. Beliau berkata: “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah saw.” (Muttafaq ‘alaih)

Meskipun anak-anak biasa merengek dan mengeluh serta banyak tingkah, namun Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah marah, memukul, membentak, dan menghardik mereka. Beliau tetap berlaku lemah lembut dan tetap bersikap tenang dalam menghadapi mereka.

Dari Aisyah Rhadiyallahu ‘anhu ia berkata: “Suatu kali pernah dibawa sekumpulan anak kecil ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mendoakan mereka, pernah juga dibawa kepada beliau seorang anak, lantas anak itu kencing pada pakaian beliau. Beliau segera meminta air lalu memercikkannya pada pakaian itu tanpa mencucinya.” (HR. Al-Bukhari). Sungguh suatu hal yang sangat terpuji yang patut kita tiru untuk anak-anak kita.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga senang bercanda dengan anak-anak. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu pernah menceritakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhu. Iapun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu menuturkan: “Rasulullah sering bercanda dengan Zainab, putri Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anhu, beliau memanggilnya dengan: “Ya Zuwainab, Ya Zuwainab, berulang kali.” (Zuwainab artinya: Zainab kecil)
Begitu perhatian dan sayangnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada anak-anak. Bahkan beliau rela menggendong putrinya sambil sholat. Beliau sholat sambil menggendong Umamah putri Zaenab binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari suaminya yang bernama Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’. Pada saat berdiri, beliau menggendongnya dan ketika sujud, beliau meletakkannya. (Muttafaq ‘alaih)

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengajarkan anak-anak dengan penuh kasih sayang. Abdullah bin Abbas menuturkan: “Suatu hari aku berada di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Wahai anak, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: “Jagalah (perintah) Allah, pasti Allah akan menjagamu. Jagalah (perintah) Allah, pasti kamu selalu mendapatkan-Nya di hadapanmu. Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah, jika kamu memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

Kasih sayang memang hal utama yang harus dimiliki setiap orang. Anak-anak pun sangat membutuhkan kasih sayang, baik dari orangtuanya maupun dari orang lain. Sikap-sikap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas patut ditiru oleh para orangtua dalam membesarkan anak-anaknya. Perilaku anak sangat tergantung dari contoh dan teladan orangtuanya. Oleh karena itu, hanya akhlak dan budi pekerti yang luhurlah yang akan menjadikan masa depan anak sesuai dengan yang kita dambakan.

Kezuhudan Sebahagian Sahabat ra.

Kezuhudan Abu Bakar
Ahmad mengeluarkan dari Aisyah r.ha, dia berkata, "Abu Bakar meninggal dunia tanpa meninggalkan satu dinar maupun satu dirham pun. Sebelum itu dia masih memilikinya, namun kemudian dia mengambilnya dan menyerahkannya ke Baitul-mal." Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Kanzu, 3/132.

Kezuhudan Umar bin Al-Khaththab
Ahmad mengeluarkan di dalam Az-Zuhud, Ibnu Jarir dan Abu Nu'aim dari Al-Hasan, dia berkata, "Ketika Umar bin Al-Khaththab sudah menjadi khalifah, di kain mantelnya ada dua belas tambalan. Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Kanzu, 4/405.

Kezuhudan Utsman bin Affan
Abu Nu'aiin mengeluarkan di dalam Al-Hilyah, 1/60, dari Abdul-Malik bin Syaddad, dia berkata, "Aku pernah melihat Utsman bin Affan berkhutbab di atas mimbar pada hari Jum'at, sambil mengenakan kain mantel yang tebal (kasar), harganya berkisar empat atau lima dirham. Kain ikat kepalanya juga ada yang robek. Diriwayatkan dari Al-Hasan, dia berkata, "Aku pernah melihat Utsman bin Affan yang datang ke masjid dalam keadaan seperti itu, pada saat dia sudah menjadi khalifah." Ahmad mengeluarkan di dalam Shifatush-Shafwah, 1/116.

Kezuhudan Ali Bin Abu Thalib
Ahmad mengeluarkan dari Abdullah bin Ruzain, dia berkata, "Aku pernah masuk ke rumah Ali bin Abu Thalib pada hari Idul-Adhha. Dia menyuguhkan daging angsa kepadaku. Aku berkata, "Semoga Allah mlimpahkan kebaikan kepadamu. Karena engkau bisa menyuguhkan makanan ini, berarti Allah memang telah melimpahkan kebaikan kepadamu, " Dia berkata, "Wahai Ibnu Ruzain, aku pernah mendengar Rasuluilah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Tidak diperkenankan harta Allah bagi seorang khalifah kecuali sebanyak dua takaran saja, satu takaran yang dia makan bersama keluarganya, dan satu takaran lagi yang harus dia berikan kepada orang-orang." Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Bidayah, 8/3.

Kezuhudan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah
Abu Nu'airn mengeluarkan dari Abu Ma'mar, bahwa tatkala Umar mengadakan lawatan ke Syam, maka disambut para pemuka dan pemimpin masyarakat di sana. "Mana saudaraku?" tanya Umar. "Siapa yang engkau maksudkan?' tanya orang-orang. "Abu Ubaidah. " "Sekarang dia baru menuju ke sini. Ketika Abu Ubaidah sudah tiba, Umar turun dari kendaraannya lalu memeluknya. Kemudian Umar masuk ke rumah Abu Ubaidah dan tidak melihat perkakas apa pun kecuali pedang, perisai dan kudanya. Ahmad mengeluarkan hadits yang serupa seperti yang disebutkan di dalam Shifatush-Shafwah, 1/143. Ibnul-Mubarak juga meriwayatkannya di dalam Az-Zuhd, dari jalan Ma'mar, serupa dengan ini, seperti yang disebutkan di dalam Al-Ishabah, 2/253.

Kezuhudan Mush'ab bin Umair
Al-Bukhary mengeluarkan di dalam Shahih-nya, dari Hibban, bahwa Mush'ab bin Umair meninggal dan hanya meninggalkan selembar kain. Jika orang-orang menutupkan kain itu ke kepalanya, maka kedua kakinya menyembul, dan jika ditutupkan ke kedua kakinya, maka kepalanya yang menyembul. Lalu Rasulullah SAW bersabda, "tutupkan dedaunan ke bagian kakinya." Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Ishabah, 3/421.

Kezuhudan Salman Al-Farisy
Abu Nu'aim mengeluarkan dari Athiyah bin Amir, dia berkata, "Aku pernah melihat Salman Al-Farisy ra. menolak makanan yang disuguhkan kepadanya, lalu dia berkata, "Tidak, tldak. Karena aku pemah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
'Sesungguhnya orang yang lebih sering kenyang di dunia akan lebih lama laparnya di akhirat. Wahai Salman, dunia ini hanyalah penjara orang Mukmin dan surga orang kafir'.
Di dalam Al-Hilyah, 1/198, Bagian terakhir dari hadits di atas, "Dunia ini hanyalah penjara orang Mukmin", merupakan riwayat Muslim.

Kezuhudan Abu Dzarr Al-Ghifary
Ahmad mengeluarkan dari Abu Asma', bahwa dia pernah masuk ke rumah Abu Dzarr di Rabadzah. Dia mempunyai seorang istri berkulit hitam yang sama sekali tidak memakai hiasan macam apa pun dan tidak pula mengenakan minyak wangi. Abu Dzarr berkata, "Apakah kalian tidak rnelihat apa yang disuruh para wanita berkulit hitam ini? Mereka menyuruhku unluk pergi ke Irak. Namun ketika kami tiba di Irak, mereka justru lebih senang kepada dunia. Padahal kekasihku (Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam) memberitahukan kepadaku bahwa di atas jembatan neraka ada rintangan dan halangannya. Kita akan menyeberangi jembatan itu sambil membawa beban kita. Maka lebih baik bagiku untuk menyeberang dengan selamat tanpa mernbawa beban apa pun." Begitulah yang disebutkan di dalain At-Targhib Wat-Tarhib, 3/93. Ahmad juga meriwayatkannya dan rawi-rawinya shahih.

Kezuhudan Abud-Darda'
Ath-Thabrany mengeluarkan dari Abud-Darda' Radhiyallahu Anhu, dia berkata, 'Dahulu sebelum Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadi rasul, kami adalah para pedagang. Namun setelah beliau diutus sebagai rasul, aku ingin terjun kembali dalam perniagaan dan sekaligus rajin beribadah. Tapi nyatanya aku tidak bisa mantap dalam ibadah. Akhirnya kutinggalkan perniagaan dan mengkhususkan diri dalam ibadah.' Menurut Al-Haitsainy, 9/367, rijalnya shahih.

Kezuhudan Al-Lajlaj Al-Ghathafany
Ath-Thabrany mengeluarkan dengan isnad yang tidak diragukan, dari Al-Lajlaj Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Sejak aku masuk Islam di hadapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, aku tidak pernah makan dan minum kecuali sekedar secukupnya." Begitulah yang disebutkan di dalarn At-Targhib, 31423. Abul-Abbas As-Siraj di dalam Tarikh-nya dan Al-Khathib di dalam Al-Muttafaq, seperti yang disebutkan di dalam Al-Ishabah, 2/328.

Kezuhudan Abdullah bin Umar
Abul-Abbas As-Siraj mengeluarkan di dalam Tarikh-nya dengan sanad hasan, dari As-Sary, dia berkata, "Aku pernah melihat sekumpulan orang dari kalangan shahabat, bahwa tak seorang pun di antara mereka yang keadaannya senantiasa mirip dengan keadaan Rasuluilah Shallallahu Alaihi wa Sallam selain dari Ibnu Umar. "Abu Sa'id Al-Mraby mengeluarkan dengan sanad yang shahih, dari Jabir ra., dia berkata, 'Tidak ada seseorang di antara kami yang mendapatkan kekayaan dunia melainkan dia justru meninggalkannya selain dari Abdullah bin Umar.' Begitulah yang disebutkan di dalam Al-Ishabah, 21347.

Kezuhudan Rasulullah 3

Ibnu Majah telah menuturkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhu dengan isnad yangg shahih : Aku diberitahu Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu seraya berkata : Aku pernah masuk ke rumah Rasulullah SAW. Saat itu baginda tengah berada di atas tikar sederhana. Aku pun duduk, ternyata diatasnya dilapisi dengan sarung baginda, dan tidak ada alas yang lain, selain tikar itu. Tikar itu pun membekas dibagian lambung baginda. Ketika aku membawa gandum kira-kira satu sha’ (2,176 kg), dan di salah satu sudut kamar baginda terdapat lemari, ternyata hanya ada kulit bergantung. Maka, kedua mataku pun tak kuasa menahan air mata.

Nabi pun bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai Ibn al-Khatthab?”
Umar mnejawab, “Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis , tikar ini telah membekas di lambung Tuan. Dan, lemari Tuan ini, aku tidak melihat apa pun di sini, kecuali apa yang bisa aku lihat. sementara Kisra dan Kaisar bergelimang dg buah-buahan dan sungai yang luas, padahal Tuan adalah Nabi Allah dan hamba pilihan-NYA, dan isi lemari Tuan hanya seperti ini.

Nabi pun bersabda, "wahai Ibn al-Khatthab, apakah engkau tidak rela , jika kita mendapatkan akhirat, sementara mereka hanya mendapatkan dunia?". Baginda juga menyatakan, "mereka itu kebaikannya disegerakan, dan semuanya itu dengan mudah hilang. sementara kita adalah kaum, yang kebaikan kita ini telah diakhirkan di akhirat kita." Demikianlah sebagaimana yg dituturkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak'ala as-Shahihain.

Suatu ketika, seorang wanita Anshar masuk kerumahku, kata 'Aisyah, lalu dia melihat tempat tidur Rasulullah SAW yaitu kain beludru yangg terlipat. Wanita itu pun mengirimkan kepadaku tempat tidur yang terbuat dari kain wol. Tiba-tiba Rasulullah masuk ke rumah, dan bertanya, "ini apa wahai 'Aisyah?" Aku pun menjawab, "wahai Rasulullah, Fulanah dari kaum Anshar telah masuk kerumah setelah dia melihat tempat tidur tuan, maka dia pun pergi, lalu mengirimiku ini." Nabi SAW bersabda, "wahai 'Aisyah, kembalikan...demi Allah, kalau aku mau, Allah akan memberikan kepadaku gunung emas dan perak."demikian dituturkan oleh al-Baihaqi, dalam as-Sunan al-Kubra-nya.

Bahkan suatu ketika malaikat Jibril pun datang menghampiri Baginda, seraya menawarkan kepada baginda untuk menjadikan tanah Makkah menjadi emas bagi baginda SAW. Nabi nan agung itu pun menolaknya, seraya mengatakan kepada Jibril, "cukuplah bagiku makanan sehari, dan lapar sehari," begitulah sikap manusia agung itu.

maka Baginda pun memohon kepada Allah, "Ya Allah hidupkanlah hamba-MU ini sebagai orang miskin; Wafatkanlah hamba-MU ini sebagai orang miskin; bangkitkanlah hamba-MU ini kelak juga bersama-sama orang miskin."
Subhanallah, begitulah kezuhudan Nabi SAW. Meski baginda SAW bisa saja mendapatkan kenikmatan dunia dan seisinya, tetapi baginda SAW tidak memilih hal itu...

Lalu bagaimana dengan diri-diri kita yangg hidup di zaman ini...?????
Sudahkah kita mampu menundukkan hawa nafsu kerakusan kita untuk bergelimang dengan harta di dunia yang hanya kita lalui sesaat ini....????
Mari kita tengok para penguasa-penguasa kita,,,, Sudahkah mereka meneladani kezuhudan Rasulullah, atau malah sebaliknya kerakusan untuk bergelimang harta menjadi prioritas utama....?????

Mari kita merenung sejenak untuk mengintropeksi diri yang berlumur dengan sejuta kerakusan duniawi....
Semoga Sepintas Sirah Rosulullah tersebut mampu mengetuk pintu fikiran, hati dan jiwa kita untuk senantiasa berhati-hati dalam menjalani kehidupan dunia ini... AMIIIN

Kezuhudan Rasulullah SAW - 2



Menurut ceritera Umar bin Khattab ,bahwa ketika ia mengunjungi Nabi Muhammad SAW dirumahnya ,maka ia melihat beliau sedang duduk diatas tikar yang kasar.Setelah Umar bin Khattab duduk,ia melihat Rasulullah SAW sedang memakai sarung saja dan kelihatan bekas-bekas tikar dipunggung beliau dan dipojok rumah beliau hanya terdapat sekantong gandum serta sedikit air yang di simpan didalam sebuah Qirbah,sehingga Umar meneteskan air matanya.

Melihat Umar bin Khatab meneteskan air matanya : Rasulullah SAW bertanya:”Wahai Umar , mengapa engkau menangis ?” Kata Umar:”Wahai Rasulullah bagaimana aku tidak menangis sedangkan aku lihat di punggungmu terlihat bekas -bekas tikar dan aku lihat pula engkau tidak mempunyai kekayaan apapun selain ini,sedangkan Kaisar Persia dan Romawi hidup dalam kemewahan dan kekayaan yang melimpah ruah,padahal engkau adalah Nabi yang amat di cintai oleh Allah ?.
Rasulullah SAW bersabda:”Wahai Umar,apakah kamu tidak ridha jika kami disediakan diakhirat,sedangkan mereka disediakan kesenangan di dunia ?

Walaupun tidak mungkin menyamai kezuhudan dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW dari kesenangan duniawi,tetapi bisa saja coba menirunya supaya tidak terlalu menyukai kesenangan duniawi ,tetapi perlu membudayakan hidup sederhana dalam berbagai aspeknya.Karena memang semua urusan lebih baik sederhana ,tidak berlebih-lebihan dan tidak juga kekurangan ,tetapi perlu seimbang.Memang kesederhanaan dalam berbagai aspek kehidupan itu lebih utama dari pada kehidupan yang mewah dan berfoya-foya yang lebih mengutamakan kesenangan duniawi ,yang sifatnya sementara saja.

Kezuhudan Rasulullah SAW - 1



Mari kita petik riwayat Abdullah bin Mas’ud.

“Suatu ketika aku datang mengunjungi Rasulullah, ketika itu beliau baru saja
bangun dari tidurnya, maka aku berkata kepadanya: ‘Ya Rasulullah! bagaimana
kalau aku ingin memberi tuan kasur untuk terhindar dari himpitan yang tak sedap
dipandang itu?’ Rasulullah menjawab: ‘Apa artinya aku dan dunia ini, aku dan
dunia bagaikan seorang musafir yang berteduh di bawah pohon melepaskan lelah
kemudian pergi meninggalkannya untuk selamanya.’ Beliau sering berdo’a:
‘Ya Allah, jadikanlah rizqi keluarga Muhammad sekedar memenuhi kebutuhannya.’ ”

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Aisya r.a. dia berkata:

“Rasulullah tidak makan roti gandum selama tiga hari berturut-turut sejak
beliau datang dari Madinah sampai beliau kembali.”

Ahmad meriwayatkan dari Anas r.a. dia berkata:

“Fathimah r.a. memberikan kepada Nabi s.a.w. sekerat roti gandum, kemudian
beliau berkata kepada putrinya itu: ‘Ini adalah makanan pertama yang ayah makan
sejak tiga hari ini.”

Subhanallah!!

Sifat zuhud inilah yang mendorong Rasulullah s.a.w. untuk melaksanakan
segala perintah-Nya, karena janji Allah yang beliau yakini, seperti dalam
firman-Nya:

“Dan akhirat adalah lebih baik bagimu dari pada dunia.”
(QS. Ad-Dhuha : 4)

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami
berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan
dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan adalah lebih
baik dan lebih kekal.”
(QS. Thoha : 131)

Ini bukan berarti bahwa Rasulullah s.a.w. dengan sifat zuhud dan
kesederhanaannya itu hendak melepaskan diri dari keluarga dan kesenangan hidup
dunia yang Allah sediakan buat hamba-hamba-Nya, karena beliau juga melarang
sahabatnya yang ingin hidup membujang dan yang anti kemewahan hidup.

Apa hikmah yang perlu kita ambil dari sifat ini?

Janganlah kita berkesimpulan yang salah mengenai Kezuhudan Rasulullah
s.a.w. Perlu disadari bahwa sifat kezuhudan beliau ini bukanlah karena beliau
fakir(melarat), bakhil (pelit), dan tidak punya makanan sama sekali. Andai kata
beliau menginginkan hidup mewah yang bergelimungan dengan harta kekayaan dan
bersenang-senang dengan bunga-bunga kehidupan dunia, niscaya dengan patuh dan
taat dunia ini akan tunduk di hadapan beliau. Akan tetapi bukanlah kemewahan
hidup di dunia yang beliau kehendaki.

Di balik sifat zuhud Rasulullah sungguh banyak tersimpan nilai-nilai
pendidikan dan pengajaran yang ingin beliau tanamkan pada ummatnya.

1. Rasulullah s.a.w. ingin menanamkan dan mengajarkan kepada generasi Muslim
tentang arti cinta dan pengorbanan serta kemulyaan.

Al-Baihaqi meriwayatkan dari Aisyah bahwa ia berkata: Rasulullah tidak
makan selama tiga hari berturut-turut; andaikata kami menghendaki itu niscaya
kami makan, akan tetapi beliau lebih senang memulyakan jiwanya.

2. Rasulullah s.a.w. ingin mendidik generasi Muslim agar biasa hidup sederhana
dan qanaah (rida dengan pemberian Allah).

Rasulullah khawatir ummatnya dihinggapi penyakit rakus terhadap
bunga-bunga kehidupan dunia yang bisa melupakan kewajiban da’wah dan jihad.
Beliau khawatir ummatnya dihinggapi penyakit mabuk daratan melihat harta yang
bergelimangan sehingga lupa serta lengah terhadap kewajiban menegakkan kalimat
Allah. Beliau juga khawatir kalau-kalau dunia ini terbentang di hadapan mereka
yang menjadikan mereka binasa seperti yang telah terjadi pada ummat-ummat
sebelum mereka. Semoga kita dijauhkan dari segala yang dikhawatirkan Rasulullah
s.a.w.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Abu Ubaidah r.a. ketika
datang dari Bahrain dengan membawa harta benda yang banyak, setelah mengerjakan
sholat Subuh orang-orang Anshor ramai-ramai menyambut kedatangannya. Melihat
mereka itu Rasulullah s.a.w. tersenyum, kemudian beliau bersabda:

“Saya mengira kamu sekalian keluar dari tempat ini karena mendengar Abu Ubaidah
datang dengan membawa oleh-oleh yang banyak.”

Mereka menjawab: ‘Benar ya Rasulullah!’

Rasulullah kemudian bersabda:
“Bergembiralah dan carilah sesuatu yang dapat menggairahkan kamu, tetapi demi
Allah! bukanlah kemiskinan dan kefakiran yang saya kuwatirkan, tapi saya
khawatir kalau dunia ini membentangkan segalanya di hadapanmu, kemudian kamu
berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan seperti mereka juga mencarinya kemudian
kamu binasa karena hartamu seperti yang pernah menimpa mereka.”

3. Rasulullah s.a.w. ingin menampakkan kepada musuh-musuh Islam bahwa beliau
berda’wah, mengajarkan agama kepada manusia bukan karena menaruh keinginan
untuk menumpuk-numpuk harta kekayaan dan kesenangan, kemewahan dan bukan pula
untuk memburu dunia dengan nama agama. Akan tetapi beliau hanya semata-mata
mengharapkan pahala dari Allah, dan hanya mengharapkan pertemuan dengan Allah.
Beliau tidak menyimpan satu hartapun kecuali makanan yang cukup untuk dimakan
malam harinya, dan pakaian yang dapat menutup auratnya. Dan apa-apa yang ada
dalam rumah beliau hanyalah barang shodaqah.

Begitulah sifat dan sikap beliau dan Nabi-nabi sebelumnya.

“Dan dia berkata: Wahai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepadamu
sebagai upah bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah, dan aku sekali-
kali tidak mengusir orang-orang yang beriman.”
(QS. Huud : 29)

—————————-
dengan mengetengahkan aspek yang unik dari Rasulullah yang perlu sekali kita
teladani. Yakni, sifat tawadhu’ Rasulullah. Apa yang tergambar dalam benak
kita apabila kita mendengar seseorang itu tawadhu’?
Kurang-lebihnya orang itu pasti memiliki sopan santun, menghormati yang tua dan
mengasihi yang muda, berbuat baik kepada tamunya, kawan-kawannya,dll. Dengan
kata lain, orang itu memiliki budi pekerti yang luhur dan ber-akhlaq mulia.
Pasti orang semacam ini mudah sekali bergaul dan disenangi orang lain.

3. Sifat Tawadhu’ Rasulullah
—————————-

Rasulullah s.a.w. sebagai insan kamil banyak mempunyai sifat tawadhu’
dan bahkan sifat ini telah menjadi kebiasaannya sejak kecil, jauh sebelum
masa kenabian beliau. Apabila kita tengok dalam Sirah Nabawiyah, akan jelas
sekali terbukti betapa harum nama beliau di kalangan kaumnya, karena sifat
beliau. Beliu terkenal sekali sebagai “Al-Amin” (yang terpercaya).

Sifat tawadhu’ inilah yang telah mengangkat diri Rasulullah sebagi
orang yg berbudi luhur dan ber-akhlaq mulia dalam bentuknya yg sempurna dan maha
tinggi. Aisyah r.a. yang sehari-hari hidup mendampingi Rasulullah menyimpulkan
bahwa akhlaq beliau adalah Al-Qur’an. Tidak hanya itu. Allah sendiri pun memuji
akhlaq beliau, sebagaimana diabadikan dalam Surat Al-Qalam ayat 4:

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”

Subhanallah!! Betapa tinggi pujian ini. Bukan dari Presiden ataupun
Perdana Menteri, tetapi langsung dari Allah!

Orang-orang yang hidup bersama Rasulullah dan yang pernah menyaksikan
cara hidup beliau mereka menyatakan bahwa beliau selalu memberi salam kepada
sahabat beliau, dari yang kecil sampai yang besar. Bila beliau berjabatan
tangan beliau tidak hendak melepaskan sebelum sahabat itu melepaskan tangannya.
Apabila beliau datang dalam suatu pertemuan tidak mau duduk sebelum
berjabat tangan dengan seluruh undangan yang hadir. Beliau juga orang yang
biasa berbelanja ke pasar-pasar dengan membawa barang-barang yang beliau beli
dengan tangannya sendiri. Ketika Abu Hurairah hendak membawakan barang-barang
beliannya itu beliau menolaknya sambil berkata: “Akulah yang lebih pantas
membawa barang-barang ini”.

Terhadap kaum buruh dan orang-orang miskin beliau tak pernah
menampakkan rasa sombong dan takabbur. Beliau selalu memenuhi undangan orang
yang mengundangnya, memaafkan orang yang berhalangan. Beliau juga pernah
menambah dan menjahid sandalnya dengan tangannya sendiri, menjadi penggembala
kambing tetangganya, makan bersama-sama dengan para nelayan beliau, selalu siap
menolong orang lain yang membutuhkannya, duduk di atas tanah tak beralas bukan
di atas kursi yang empuk, walaupun beliau seorang pemimpin besar dunia!

Keluhuran budi Rasulullah seperti tersebut di atas adalah karena
didikan Al-Qur’an untuk berbudi luhur, seperti firman Allah:

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu
orang-orang yang beriman.”
(QS. Asy-Syura: 215)